Senin, 25 Oktober 2010

Corporate Social Responsibility

LATAR BELAKANG

Perkembangan dunia usaha yang semakin pesat ini ditandai oleh terjadinya perubahan dalam bidang teknologi, sehingga memunculkan berbagai perusahaan yang berskala produksi besar dan menyerap banyak tenaga kerja. Bidang-bidang usaha yang tersedia juga semakin banyak sehingga semakin membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Apalagi didukung oleh adanya kebijakan Otonomi Daerah, yang menyebabkan daerah-daerah juga turut berlomba-lomba untuk memajukan dirinya dengan cara memberikan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan untuk beroperasi di daerahnya.

Dengan adanya perubahan teknologi, khususnya dengan adanya perubahan Otonomi Daerah di Indonesia membawakan perubahan yang cukup besar dalam pertumbuhan perusahaan yang beroperasi Nasional maupun Internasional, dan perusahaan tersebut menyadari bahwa dalam beropesai harus memperhatikan kelestarian lingkungan hidup.

Hasil riset SWA (2005) menunjukkan bahwa sebanyak 80% responden perusahaan telah menyadari pentingnya corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial bagi perusahaan dan memasukkan unsur-unsur yang menjadi tujuan tanggung jawab sosial perusahaan, penerapan CSR diperusahaan akan menciptakan iklim saling percaya di dalamnya, yang akan menaikkan motivasi para karyawannya itu sendiri. Pihak konsumen, investor, dan pemasok. CSR atau tanggung jawab sosial telah terbukti lebih mendukung perusahaan dalam meningkatkan peluang pasar dan keunggulan kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu, perusahaan yang menerapkan CSR akan menunjukkan kinerja yang lebih baik serta keuntungan dan pertumbuhan yang meningkat.

Kotler dan Keller (2006) mengungkapkan bahwa CSR marketing yang berhasil akan memberikan banyak keuntungan bagi perusahaan. Keuntungan tersebut antara lain adalah kenaikan penjualan, serta terbentuknya identitas merek yang baik. Hanya saja, agar kegiatan CSR bisa berjalan dengan efektif dan memberikan dampak yang lebih besar, diperlukan strategi dan program yang terencana dengan baik. Terdapat empat hal yang harus diperhatikan dalam menyusun strategi kegiatan CSR marketing, yaitu:

1. Kegiatan CSR harus mempunyai fokus, artinya perusahaan harus memilih satu atau beberapa tema yang menjadi fokus kegiatan CSR-nya, misalnya tema pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, atau kesenjangan sosial. Tidak memiliki tema yang menjadi fokus akan mengaburkan tujuan kegiatan itu dan bisa menghambat dampak yang diharapkan.

2. Kegiatan CSR harus dilakukan secara konsisten. Apabila perusahaan melakukan kegiatan CSR-nya secara konsisten dalam jangka panjang, kemungkinan besar akan mendapat kepercayaan dan akan menarik mereka untuk ikut berpartisipasi.

3. Kegiatan CSR dihubungkan dengan brand yang dimiliki perusahaan, bertujuan untuk membetuk identitas brand yang baik lewat kegiatan CSR.

4. Perusahaan memerekkan kegiatan CSR itu sendiri, misalnya dengan cara memberi nama, membuat logo atau slogan tentang kegiatan CSR tersebut. Dengan demikian diharapkan perusahaan lebih mudah mengkomunikasikan kegiatan CSR kepada karyawannya.

MASALAH

Etika bisnis dengan corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial saling berkaitan karena dengan diterapkannya tanggung jawab sosial diperusahaan, akan menciptakan iklim saling percaya di dalamnya, yang akan menaikkan motivasi para karyawannya itu sendiri. Pihak konsumen, investor, dan juga pemasok. CSR atau tanggung jawab sosial telah terbukti lebih mendukung perusahaan dalam meningkatkan peluang pasar dan keunggulan kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu, perusahaan yang menerapkan CSR akan menunjukkan kinerja yang lebih baik serta keuntungan dan pertumbuhan yang lebih meningkat di bandingkan dengan perusahaan yang tidak menggunakan CSR.

CSR juga mengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah goldenrules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat atau konsumen.

LANDASAN TEORI

Kotler dan Keller (2006) menjelaskan bahwa pemasaran holistik adalah konsep yang berbasiskan pengembangan, desain, implementasi dan aktivitas proses pemasaran yang dikenali memiliki nilai ketergantungan yang cukup tinggi. Pendekatan holistik didasari pada cara untuk mengatasi berbagi permasalahan pemasaran yang kompleks dan luas. Karakteristik pemasaran holistik merupakan integrasi dari empat konsep pemasaran, yaitu konsep pemasaran internal (internal marketing), pemasaran integrasi (integrated marketing), pemasaran relasional (relationship marketing) dan pemasaran sosial (societal marketing).

Pemasaran sosial (societal marketing) merupakan konsep yang memandang bahwa organisasi berusaha menentukan apa keinginan, kebutuhan, dan ketertarikan atau kepentingan dari target pasar. Organisasi kemudian memberikan nilai superior kepada konsumen dengan cara-cara yang dapat mempertahankan atau meningkatkan kesejahteraan konsumen dan masyarakat secara lebih luas. Konsep societal marketing menuntut pasar untuk dapat menyeimbangkan tiga pertimbangan dalam mengambil keputusan mengenai kebijakan pemasaran, yaitu keuntungan perusahaan, kepuasan konsumen, dan kepentingan masyarakat. Konsep segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan konsep, komunikasi, fasilitasi, insentif dan teori pertukaran digunakan untuk memaksimalkan respon yang bersifat komersial (Kotler dan Lee, 2005).

Pemasaran sosial menggunakan konsep-konsep segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan dan pengujian konsep produk, komunikasi yang diarahkan, pemberian fasilitas, insentif-insentif dan perubahan teori untuk memaksimumkan tanggapan kelompok sasaran. Asumsi dasar penelitian ini adalah bahwa konsep pemasaran sosial yang condong untuk aktivitas komersial, sesungguhnya dapat pula dikembangkan bagi aktivitas pengembangan masyarakat yang bersifat non profit.

PEMBAHASAN MASALAH

Substansi keberadaan Prinsip Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan bagi Perusahaan (Corporate Social Responsibility yang selanjutnya disebut dengan CSR), merupakan rangka dalam memperkuat kemampuan perusahaan untuk beradaptasi dengan lingkungannya dan komunitas yang terkait dengannya, baik lokal, nasioal, maupun global. Di dalam pengimplementasiaannya, diharapakan agar unsur-unsur perusahaan, pemerintah dan masyarakat saling berinteraksi dan mendukung, supaya CSR dapat diwujudkan secara komprehensif, sehingga dalam pengambilan keputusan, menjalankan keputusan, dan pertanggungjawabannya dapat dilaksanakan bersama.

Pada Bulan September tahun 2004, International Organization for Standardization atau (ISO), sebagai induk organisasis standardisasi internasional berhasil menghasilkan panduan dan standardisasi untuk tanggung jawab sosial, yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility. ISO 26000 menjadi standar pedoman untuk penerapan CSR. ISO 26000 mengartikan CSR sebagai tanggung jawab suatu organisasi yang atas dampak dari keputusan dan aktivitanya terhadap masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang:

1. Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat,

2. Memperhatikan kepentingan dari para konsumen,

3. Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional dan

4. Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik kegiatan, produk maupun jasa.

Di dalam ISO 2006, CSR mencakup 7 (tujuh) isu pokok, yaitu:

1. Pengembangan masyarakat,

2. Konsumen,

3. Praktek kegiatan institusi yang sehat,

4. Lingkungan,

5. Ketenagakerjaan,

6. Hak Asasi Manusia dan

7. Organizational Governance (Organisasi Kepemerintahan).

Berdasarkan konsep ISO 26000, maka untuk penerapan CSR hendaknya terintegrasi di seluruh aktivitas perusahaan yang mencakup 7 (tujuh) isu pokok di atas. Prinsip-prinsip dasar CSR yang menjadi dasar pelaksanaan yang menjiwai atau menjadi informasi dalam pembuatan keputusan dan kegiatan CSR menurut Iso 26000 meliputi:

1. Kepatuhan kepada hukum,

2. Menghormati instrumen/badan-badan internasional,

3. Menghormati stakeholders dan kepentingannya,

4. Akuntabilitas,

5. Transparansi,

6. Perilaku yang beretika,

7. Melakukan tindakan pencegahan dan

8. Menghormati dasar-dasar hak asasi manusia.

Pada kenyataannya, memang dapat kita lihat berbagai kasus pencemaran atau kerusakaan lingkungan yang diakibatkan karena aktivitas perusahaan kurang bertanggung jawab dalam menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya dan konflik antara perusahaan dengan masyrakat di sekitarnya, karena kurang memperhatikan keadaan masyarakat tersebut. Beberapa kasus tersebut diantaranya adalah: kasus lumpur Lapindo di Porong, pencemaran lingkungan oleh Newmont di Teluk Buyat, konflik antara masyarakat Papua dengan PT. Freeport Indonesia, konflik masyarakat Aceh dengan Exxon Mobile yang mengelola gas bumi di Arun.

Berdasarkan atas munculnya berbagai aktivitas perusahaan yang tidak bertanggung jawab, sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup di sekitarnya dan terjadinya konflik dengan masyarakat sekitarnya, maka pemerintah memberikan pengaturan mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan di dalam peraturan perundang-undangan nasional.

Dengan diaturnya CSR di dalam peraturan perundang-undangan, maka CSR kini menjadi tanggung jawab yang bersifat legal dan wajib. Namun, dengan asumsi bahwa kalangan bisnis akhirnya bisa menyepakati makna sosial yang terkandung di dalamnya, gagasan CSR mengalami distorsi yang serius, yaitu sebagai berikut:

1. Sebagai sebuah tanggung jawab sosial, dengan adanya pengaturan CSR, maka mengabaikan sejumlah prasyarat yang memungkinkan terwujudnya makna dasar CSR tersebut, yaitu sebagai pilihan sadar, adanya kebebasan, dan kemauan bertindak. Dengan mewajibkan CSR, maka memberikan batasan kepada ruang-ruang pilihan yang ada, berikut kesempatan masyarakat mengukur derajat pemaknaannya dalam praktik.

2. Dengan adanya kewajiban tersebut, maka CSR bermakna parsial sebatas upaya pencegahan dan penanggulangan dampak sosial dan lingkungan dari kehadiran sebuah perusahaan. Dengan demikian, bentuk program CSR hanya terkait langsung dengan jenis usaha yang dijalankan perusahaan. Padahal praktek yang berlangsung selama ini, ada atau tidaknya kegiatan terkait dampak sosial dan lingkungan, perusahaan melaksanakan program langsung, seperti lingkungan hidup dan tak langsung, seperti rumah sakit, sekolah, dan beasiswa. Kewajiban tadi berpotensi menghilangkan aneka program tak langsung tersebut.

3. Tanggung jawab lingkungan sesungguhnya adalah tanggung jawab setiap subyek hukum, termasuk perusahaan. Jika terjadi kerusakan lingkungan akibat aktivitas usahanya, hal itu jelas masuk ke wilayah urusan hukum. Setiap dampak pencemaran dan kehancuran ekologis dikenakan tuntutan hukum, dan setiap perusahaan harus bertanggung jawab. Dengan menempatkan kewajiban proteksi dan rehabilitasi lingkungan dalam domain tanggung jawab sosial, hal ini cenderung mereduksi makna keselamatan lingkungan sebagai kewajiban legal menjadi sekedar pilihan tanggung jawab sosial. Atau bahkan lebih jauh lahi, justru bisa terjadi penggandaan tanggung jawab suatu perusahaan, yakni secara sosial (menurut UU PT) dan secara hukum (menurut UU Lingkungan Hidup).

4. Dari sisi keterkaitan peran, kewajiban yang digariskan UU PT menempatkan perusahaan sebagai pelaku dan penanggung jawab tunggal program CSR. Di sini, masyarakat seakan menjadi obyek semata, sehingga hanya menyisakan budaya ketergantungan selepas program, sementara negara menjadi mandor pengawas yang siap memberikan sanksi atas pelanggaran.

Sebagai upaya untuk meningkatkan pelaksanaan CSR di Indonesia, terdapat beberapa lembaga yang sangat memberikan perhatian terhadap pelaksanaan CSR, yaitu: Indonesia Business Link (IBL), Corporate Forum for Community Development (CFCD), dan Business Watch Indonesia (BWI).

Dalam rangka menciptakan kemajuan pelaksanaan konsep CSR, harus didukung oleh peranan pemerintah, baik sebagai partisipan, convenor, atau fasilisator, dan sebagainya. Masyarakat juga dapat turut serta mendukung konsep CSR, yaitu dengan cara memberikan informasi, saran, dan masukan atau pendapat untuk menentukan program yang akan dilakukan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pengaturan mengenai CSR di dalam UU PT dan UU PM masih perlu diperjelas dan disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan lainya, antara lain UU Lingkungan Hidup dan dengan instrumen hukum internasional yang terkait, diantaranya ISO 26000. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan bias dalam pengertian dan standar pelaksanaan CSR. Selain itu agar kalangan dunia usaha dapat melaksanakan SCR secara lebih maksimal lagi, sehingga tujuan dari penerapan CSR pada aspek-aspek sosial dan lingkungan dapat semakin berhasil dan mendatangkan manfaat, baik bagi perusahaan, masyarakat, lingkungan, dan negara.

Walaupun praktek CSR belum menjadi perilaku yang umum, diharapkan dengan adanya pengaturan mengenai CSR di dalam UU PT dan UU PM, dapat mendorong dunia usaha untuk melaksanakan CSR secara lebih bertanggung jawab dan tidak memandang CSR sebagai suatu kewajiban yang memberatkan perusahaan tersebut.

REFERENSI

Amyardi, SH, SE, MM. 2010, Modul Seri 6: Etika Bisnis, Jakarta : Universitas Mercu Buana

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts :

Followers :

Mengenai Saya :

Foto saya
Susah diungkapkn dgn kata-kata karena setiap manusia memiliki sudut pandang yang berbeda-beda terhadap saya.
free counters